Bagaimana kami dapat membantu anda?

Hubungi kami, kami siap membantu menyelesaiakan permasalah perpajakan yang anda hadapi, kami memberikan layanan dan konsultasi yang baik dalam perpajakan.

Transfer pricing esensi dokumen transfer pricing

Makin banyak perusahaan multinasional (multinational enterprises/MNE) dari berbagai negara di Indonesia, baik sebagai cabang, perwakilan, anak perusahaan dan bentuk lainnya yang melakukan transfer pricing.. Penyebabnya berbagai hal di antaranya bahan baku murah dan mudah didapat, demikian juga tenaga kerja.

Berbagai tipe transaksi antar perusahaan MNE atau transaksi afiliasi, seperti transfer barang berwujud dan tidak berwujud (intagibles), penyerahan jasa, keuangan, persewaan dan leasing, berbagai kontrak (manufaktur/maklon, litbang, pemeliharaan, pemasaran), dan berbagi biaya (Gunadi, 1997).

Dalam International Tax Glosary disebut “A transfer price is the price charged by a company for goods, sevrices or intangible property to a subsidiary or other related company”. Karena perusahaan berada di berbagai negara, penentuan harga dalam transaksi afiliasi MNE dapat berbeda bahkan menyimpang dari harga di pasar wajar (fairness business).

Ini pula yang membuat perusahaan dapat menjadi rugi secara komersil di suatu negara walaupun sebenarnya memperoleh untung.

Transfer pricing merupakan salah satu kebijakan bisnis terutama harga dalam MNE, yang mempunyai sisi untung-rugi bagi pihak-pihak. Bagi MNE (secara keseluruhan), dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal. Di sisi lain sekaligus dapat meminimalisasi beban/pengeluaran kepada pihak lain di luar multinational corporations (MNC), termasuk pajak yang minimal bagi negara.

Untuk meminimilasi kerugian bagi negara dan dalam rangka tax governance, berbagai negara telah mengeluarkan regulasi terkait trasfer pricing. Di Indonesia, ketentuan terkait terdapat dalam UU Pajak Penghasilan (PPh), yaitu Pasal 6 (1), Pasal 10 (1), dan Pasal 18.

The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat pedoman (guidelines) untuk transfer pricing. Pertama, penerapan prinsip harga wajar (arm’s-length principle) dalam transaksi afiliasi. Kedua, penerapan tingkat komparabilitas. Ketiga, pengenalan metode laba dengan transactional net margin method. Dan keempat, pentingnya dokumentasi atas transfer pricing dan peranan pinalti guna meningkatkan kepatuhan.

Merujuk pedoman OECD tersebut, berbagai negara telah membuat ketentuan mengenai pembuatan dokumen transfer pricing. Indonesia juga telah mengimplementasikannya dalam Peraturan Menteri Keuangan No.213/2016 tentang jenis dokumen dan/atau informasi tambahan yang disimpan oleh wajib pajak (WP) yang melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan tata cara pengelolaannya.

Dokumen penentuan transfer pricing adalah dokumen yang diselenggarakan oleh WP sebagai dasar penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam penentuan transfer pricing yang dilakukan WP.

Ada tiga jenis dokumennya. Pertama, dokumen induk. Dokumen ini minimal memuat informasi mengenai grup usaha yaitu struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota; kegiatan usaha yang dilakukan; harta tidak berwujud yang dimiliki; aktivitas keuangan dan pembiayaan, dan laporan keuangan konsolidasi entitas induk dan informasi perpajakan terkait transaksi afiliasi.

Kedua, dokumen lokal. Dokumen ini minimal memuat informasi mengenai WP yaitu identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan; informasi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan; penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha; informasi keuangan, dan peristiwa/kejadian/fakta nonkeuangan yang memengaruhi pembentukan harga atau tingkat laba.

Ketiga, laporan per negara, yang minimal memuat alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota grup usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi, peredaran bruto, laba (rugi) sebelum pajak, PPh yang telah dipotong/dipungut/dibayar sendiri, PPh terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas.

Selain itu daftar anggota grup usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi. Adapun WP yang wajib menyelenggarakan dan menyimpan dokumen penentuan transfer pricing adalah yang melakukan transaksi afiliasi dengan syarat berikut. Pertama, nilai peredaran bruto tahun pajak sebelumnya diatas Rp50 miliar. Kedua, nilai transaksi afiliasi diatas Rp20 miliar untuk transaksi barang berwujud, atau diatas Rp5 miliar untuk setiap penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau transaksi afiliasi lainnya. Dan ketiga, pihak afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif PPh lebih rendah daripada tarif PPh di Indonesia.

Sedangkan bila WP merupakan entitas induk dari suatu grup usaha, batasan peredaran bruto konsolidasi diatas Rp11 triliun.

Dokumen transfer pricing wajib dibuat berdasarkan data dan informasi yang tersedia saat dilakukan transaksi afiliasi. Jika tidak, WP tidak memenuhi ketentuan dan dianggap tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Selanjutnya, dokumen wajib dibuat ikhtisar dan merupakan lampiran SPT Tahunan PPh. Bagi WP yang tidak membuat dokumen transfer pricing maka selain tidak memenuhi ketentuan terkait penerapan prisip kewajaran dan kelaziman usaha, juga SPT-nya menjadi tidak lengkap.

Dalam hal diperlukan untuk pengawasan kepatuhan WP, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan maka Dirjen Pajak berwenang meminta dokumen penentu transfer pricing dimaksud.

Sumber:

http://kalimantan.bisnis.com/read/20170704/251/667944/transfer-pricing-esensi-dokumen-transfer-pricing

error: Dilarang Pelajiat !!!!